Riwayat Hidup
René Descartes atau Cartesius
dilahirkan di La Haye, sebuah kota kecil di Touraine , Perancis tahun
1596. Ia mendapatkan pendidikan di sekolah Jesuit di La Flèche. Selama di
sekolah ini, karena kondisi kesehatannya yang kurang baik, ia diizinkan untuk
tetap berada di tempat tidur dan ini pada akhirnya menjadi sebuah kebiasaan
selama hidupnya. Di sekolah Jesuit, Descartes mendapatkan pelajaran-pelajaran
tentang filsafat, fisika dan matematika. Selama di sekolah ini pula ia ikut
merayakan ditemukannya berbagai bulan yang ada pada planet Jupiter tahun 1611.
Setelah meninggalkan La Flèche, Descartes melanjutkan pendidikannya ke sekolah
hukum di Poitiers .
Selanjutnya ia berpergian di beberapa negera Eropa selama satu dekade, termasuk
tiga tahun di Paris, di mana ia menemukan Mersenne, yang kemudian menjadi
mentornya. Pada tahun 1629, dalam pencariannya akan ketenangan dan kesunyaian,
ia menetap di Belanda. Belanda dianggap sebagai tempat yang paling tepat karena
iklim kebebasannya yang terbaik di Eropa. Descartes menetap di Belanda sampai
dengan 1649. Pada rentang waktu tahun-tahun inilah ia menulis banyak karya
ilmiah. Pada Oktober 1649 pula ia pindah ke Stochkholm, Swedia, namun pada
Februari tahun berikutnya yakni 1650, ia wafat karena penyakit pneumonia.
Sebagai seorang filosof,
Descartes telah menghasilkan beberapa karya filsafat yakni: Discours de la
méthode pour bien conduire sa raison et chercher les vérités dansles
sciences (Discourse on Method), 1637; Meditationes de Prima
Philosophia (Meditations on the First Philosoph), 1641; Principia
Philosopiae (Principles of Philosophy), 1644;23 dan Les
Passiones de L’ame (1650).
B. Ciri Filsafat
Descartes
Inti metode Descartes adalah
keraguan yang mendasar. Dia meragukan segala sesuatu yang dapat diragukan-semua
pengetahuan tradisional, kesan indrawinya, dan bahkan juga kenyataan bahwa dia
mempunyai tubuh sekalipun-hingga dia mencapai satu hal yang tidak dapat
diragukan, keberadaan dirinya sebagai pemikir. Oleh karena itu, dia sampai pada
pertanyaan yang terkenal Cogito ergo sum. Sehingga dalam berhubungan
dengan realita, Descartes mencoba untuk meragukan segala apa yang diterima oleh
inderanya dan dia berusaha untuk menguak realitas dengan menggunakan akalnya.
Karena menurutnya hanya pengetahuan yang diperoleh melalui akal yang
dapat disebut sebagai pengetahuan yang ilmiah. Dan kebenaran yang diperoleh
melalui indera mempunyai tingikat kesalahan yang lebih tinggi.
Meskipun demikian dia tidak
mengingkari pengetahuan yang diperoleh melalui pengalaman. Hanya saja
pengalaman dipandang sebagai sejenis perangsang bagi pikiran. Karenanya,
aliran ini yakin bahwa kebenaran dan kesesatan terletak di dalam ide, dan
bukannya di dalam barang sesuatu. Jika kebenaran bermakna sebagai mempunyai ide
yang sesuai dengan atau yang menunjuk kepada kenyataan, maka kebenaran hanya
dapat ada di dalam pikiran kita dan hanya dapat diperoleh dengan akal saja.
Kemudian Descartes menolak untuk
bergantung pada pendapat umum yang berkembang dalam masyarakat dalam
melandaskan pemikirannya. Karena itu ia menolak seluruh hal kecuali kepastian
dari pendapatnya sendiri. Sebagaimana yang diungkapkannya dalam buku Filsafat
untuk umum karya Bambang Q. Anees dan Radea Juli A. Hambali,
“Andaikata Kita membaca setiap
karangan Plato dan Aristoteles, namun tanpa kepastian sendiri, kita tidak maju
satu langkah pun dalam filsfat…….Pengertian historis kita lalu ditambah, namun
bukan pemahaman kita.
Dalam membangun filsafatnya
Descartes membuat pertanyaan-pertanyaan sebagai patokan dalam menentukan
kebenaran dan keluar dari keraguan yang ada. Adapun persoalan-persoalan yang
dilontarkan oleh Descartes untuk membangun filsafat baru antara lain:
a. Apakah
kita bisa menggapai suatu pengetahuan yang benar?
b.
Metode apa yang digunakan mencapai pengetahuan pertama?
c.
Bagaimana meraih pengetahuan-pengetahuan selanjutnya?
d.
Apa tolok ukur kebenaran pengetahuan?
Untuk menjawab
pertanyaan-pertanyaan tersebut, Descartes menawarka metode-metode untuk
menjawabnya. Yang mana metode-metode tersebut harus dipegang untuk sampai pada
pengetahuan yang benar:
- Seorang filosuf harus hanya menerima suatu pengetahuan yang
terang dan jelas.
- Mengurai suatu masalah menjadi bagian-bagian kecil sesuai
dengan apa yang ingin kita cari. Atau jika masalah itu masih berupa
pernyataan: maka pernyataan tersebut harus diurai menjadi
pernyataan-pernyataan yang sederhana. Metode yang kedua ini disebut
sebagai pola analisis.
- Jika kita menemukan suatu gagasan sederhana yang kita anggap Clear
and Distinct, kita harus merangkainya untuk menemukan kemungkinan
luas dari gagasan tersebut. Metode yang ketiga ini disebut dengan
pola kerja sintesa atau perangkaian.
- Pada metode yang keempat dilakukan pemeriksaan kembali terhadap
pengetahuan yang telah diperoleh, agar dapat dibuktikan secara pasti bahwa
pengetahuan tersebut adalah pengetahuan yang Clear and Distinct yang
benar-benar tak memuat satu keraguan pun. Metode yang keempat ini disebut
dengan verifikasi.
Jadi dengan keempat metode
tersebut Descartes mengungkap kebenaran dan membangun filsafatnya untuk keluar
dari keraguan bersyarat yang diperoleh dari pengalaman inderawinya.
C. Pengertian
Rasionalisme
Secara etimologis Rasionalisme
berasal dari kata bahasa Inggris rationalism. Kata ini berakar dari
kata bahasa Latin ratio yang berarti “akal”. A.R. Lacey7 menambahkan
bahwa berdasarkan akar katanya Rasionalisme adalah sebuah pandangan yang
berpegangan bahwa akal merupakan sumber bagi pengetahuan dan pembenaran.
Sementara itu, secara terminologis aliran ini dipandang sebagai aliran yang
berpegang pada prinsip bahwa akal harus diberi peranan utama dalam penjelasan. Ia
menekankan akal budi (rasio) sebagai sumber utama pengetahuan, mendahului atau
unggul atas, dan bebas (terlepas) dari pengamatan inderawi.
D. Sebab Timbulnya
Pemikiran Rasionalisme
Descartes merupakan orang
pertama yang memiliki kapasitas filosofis yang sangat dipengaruhi oleh fisika
baru dan astronomi. Ia banyak menguasai filsafat Scholastic, namun ia tidak
menerima dasar-dasar filfasat Scholastic yang dibangun oleh para pendahulunya.
Ia berupaya keras untuk mengkonstruksi bangunan baru filsafat. Hal ini
merupakan terobosan baru semenjak zaman Aristoteles dan hal ini merupakan
sebuah neo-self-confidence yang dihasilkan dari kemajuan ilmu
pengetahuan. Dia berhasrat untuk menemukan “sebuah ilmu yang sama sekali baru
pada masyarakat yang akan memecahkan semua pertanyaan tentang kuantitas secara
umum, apakah bersifat kontinim atau terputus.”
Visi Descartes telah menumbuhkan
keyakinan yang kuat pada dirinya tentang kepastian pengetahuan ilmiah, dan
tugas dalam kehidupannya adalah membedakan kebenaran dan kesalahan dalam semua
bidang pelajaran. Karena menurutnya “semua ilmu merupakan pengetahuan yang
pasti dan jelas.
Pada dasarnya, visi dan filsafat
Descartes banyak dipengaruhi oleh ilmu alam dan matematika yang berasas pada
kepatian dan kejelasan perbedaan antara yang benar dan salah. Sehingga dia
menerima suatu kebenaran sebagai suatu hal yang pasti dan jelas atau disebut
Descartes sebagai kebenaran yang Clear and Distinct.
Dalam usahanya untuk mencapai
kebenaran dasar tersebut Descartes menggunakan metode “Deduksi”, yaitu dia
mededuksikan prinsip-prinsip kebenaran yang diperolehnya kepada prinsip-prinsip
yang sudah ada sebelumnya yang berasal dari definisi dasar yang jelas.
Sebagaimana yang ditulis oleh Robert C. Solomon dan Kathleen M. Higgins dalam
buku sejarah filsafat,
“kunci bagi deduksi
keseluruhan Descartes akan berupa aksioma tertentu yang akan berfungsi sebagai
sebuah premis dan berada diluar keraguan. Dan aksioma ini merupakan klaimnya
yang terkenal Cogito ergo sum “Aku berpikir maka aku ada”.
E. Pola Pikir
Rasionalisme
Rasionalisme atau gerakan
rasionalis adalah doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan
melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan fakta, daripada
melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari
segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka
bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di
luar kepercayaan keagamaan atau takhayul. Meskipun begitu, ada perbedaan dengan
kedua bentuk tersebut: Humanisme dipusatkan pada masyarakat manusia dan
keberhasilannya. Rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting
daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Ada rasionalis-rasionalis yang dengan tegas
menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Atheisme adalah suatu keadaan
tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa; rasionalisme tidak
menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak
kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme
yang kuat dalam rasionalisme modern, tidak seluruh rasionalis adalah atheis.
Di luar konteks religius,
rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, umpamanya kepada
masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang
menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan
terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
Pada pertengahan abad ke-20, ada
tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh
para pemikir bebas dan kaum intelektual. Rasionalisme modern hanya mempunyai
sedikit kesamaan dengan rasionalisme kontinental yang diterangkan René
Descartes. Perbedaan paling jelas terlihat pada ketergantungan rasionalisme
modern terhadap sains yang mengandalkan percobaan dan pengamatan, suatu hal
yang ditentang rasionalisme kontinental sama sekali.
F. Implikasi Aliran
Rasionalisme Terhadap Dunia Pendidikan
Seperti kita ketahui bahwa
Logika adalah kaidah-kaidah berfikir. Subyeknya akal-akal rasional. Obyeknya
adalah proposisi bahasa. Proposisi bahasa yang mencerminkan realitas, apakah
itu realitas di alam nyata ataupun realitas di alam fikiran. Kaidah-kaidah
berfikir dalam logika bersifat niscaya atau mesti. Penolakan terhadap kaidah
berfikir ini adalah mustahil (tidak mungkin). Bahkan mustahil pula dalam semua
khayalan atau “angan-angan” yang mungkin (all possible intelligebles).
Contohnya, sesuatu apapun pasti
sama dengan dirinya sendiri, dan tidak sama dengan yang bukan dirinya. Prinsip
berfikir ini telah tertanam secara niscaya sejak manusia lahir. Tertanam secara
kodrati dan spontan. Dan selalu hadir kapan saja fikiran digunakan. Dan ini
harus selalu diterima kapan saja realitas apapun dipahami. Bahkan, lebih jauh,
prinsip ini sesungguhnya adalah satu dari watak niscaya seluruh yang maujud
(the very property of being). Tidak mengakui prinsip ini, yang biasa disebut
dengan prinsip non-kontradiksi, akan menghancurkan seluruh kebenaran dalam alam
bahasa maupun dalam semua alam lain. Tidak menerimanya berarti meruntuhkan
seluruh arsitektur bangunan agama, filsafat, sains dan teknologi, dan seluruh
pengetahuan manusia.
Rasionalisme mencapai puncaknya
melalui Rene Descartes yang terkenal dengan adagiumnya: Cogito, ergo sum
(Aku berpikir, maka aku ada). Ia beranggapan bahwa pengetahuan dihasilkan oleh
indra. Tetapi karena indra itu tidak dapat meyakinkan, bahkan mungkin pula
menyesatkan, maka indra tidak dapat diandalkan. Yang paling bisa diandalkan
adalah diri sendiri. Dengan demikian, inti rasionalisme adalah bahwa
pengetahuan yang dapat diandalkan bukan berasal dari pengalaman, melainkan dari
pikiran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar